Syekh Siti Jenar



Syekh Siti Jenar yang memiliki nama asli Raden Abdul Jalil (juga dikenal dengan nama Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh Lemahbang, dan Syekh Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah seorang penyebar agama islam di Pulau jawa, khususnya di Kadipaten Jepara  Asal-usul Syekh Siti Jenar tidak diketahui dengan pasti karena ada banyak versi yang simpang-siur mengenai dirinya. Demikian pula dengan berbagai versi lokasi makam tempat ia disemayamkan untuk terakhir kalinya.
Syekh Siti Jenar dikenal karena ajarannya, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Ajaran tersebut membuat dirinya dianggap sesat oleh sebagianumat islam sementara yang lain menganggapnya sebagai seorang intelek yang telah memperoleh esensi Islam. Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya sastra buatannya sendiri yang disebut Pupuh, yang berisi tentang budi pekerti.

yekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran WaliSongo. Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan Syariah yang dilakukan oleh Walisongo


Syeh Siti jenar memiliki nama asli Abdul Jalil atau Raden Abdul Jalil. Ia memiliki beberapa julukan, yaitu:
1. Syeh Siti Jenar
"Syeh" adalah sebuah gelar, "Siti" berarti tanah, dan "Jenar" berarti merah.
2. Sunan Jepara
Gelar ini muncul karena kedudukan Syeh Siti Jenar sebagai seorang sunan yang tinggal di Kadipaten Jepara
3. Syeh Lemah Abang
Sebutan yang diberikan masyarakat Jepara karena ia tinggal di Dusun Lemah Abang, Kecamatan Keling


Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian, justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi olehnya

Manunggaling Kawula Gusti

Para pendukung Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa ia tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Ajaran ini bukan dianggap sebagai bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Dalam ajaran Syeh Siti Jenar, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia:
Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh(ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." Q.S. Shaad: 71-72
Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi (Manunggaling Kawula Gusti). Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an ini yang menimbulkan polemik, yaitu bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan.

Serat Centhini

Serat Centhini jilid 1 menuliskan kisah Syeh Siti Jenar pada pupuh 38 (1-44). Karya sastra ini tidak menyebut asal mula Syeh Siti Jenar melainkan langsung pada peristiwa yang menyebabkan dirinya dihukum mati. Pada suatu ketika, Prabu Satmata (Sunan Giri) memanggil delapan wali yang lain untuk menghadap ke Giri Gajah, di istana Argapura. Kedelapan wali tersebut adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Ngampeldenta, Sunan Kudus, Syeh Siti Jenar, Syekh Bentong, Pangeran Palembang, dan Panembahan Madura. Masing-masing wali menyampaikan pengetahuan yang mereka miliki hingga giliran Syeh Siti Jenar yang berkata, "Menyembah Allah dengan bersujud beserta ruku'nya, pada dasarnya sama dengan Allah, baik yang meyembah maupun yang disembah. Dengan demikian hambalah yang berkuasa dan yang menghukum pun hamba juga." Semua yang hadir terkejut sehingga menuduhnya sebagai pengikut aliran Qadariyah, menyamakan dirinya dengan Allah, serta keterangannya terlalu jauh. Syeh Siti Jenar membela diri dengan berkata bahwa ''biar jauh tetapi benar sementara yang dekat belum tentu benar''. Hal tersebut membuat Prabu Satmata hendak menghukumnya mati supaya kesalahan prinsip ajaran Syeh Siti Jenar jangan sampai tersebar.

Setelah itu diadakan pertemuan kedua untuk menghakimi tindakan Syeh Siti Jenar. Pertemuan hanya dihadiri tujuh orang wali dengan dihadiri Syekh Maulana Magribi. Saat Syekh Maulana menegaskan nama Siti Jenar, ia menjawab, "Ya, Allah nama hamba, tidak ada Allah selain Siti Jenar, sirna Siti Jenar, maka Allah yang ada." Hal tersebut membuatnya dihukum penggal bersama dengan tiga orang sahabatnya. Dikisahkan pula seorang anak penggembala kambing yang mendengar hal tersebut segera berlari datang ke pertemuan dengan mengatakan bahwa masih ada allah ketinggalan karena sedang menggembalakan kambing. Prabu Satmata mengatakan bahwa anak itu harus dipenggal pula dan jenasahnya diletakkan di dekat jenasah Siti Jenar. Pernyataan tersebut disetujui oleh suara Siti Jenah yang terdengar dari langit.
Tiga hari kemudian, Prabu Satmata melihat jasad Siti Jenar masih utuh. Ia mendengar suara Siti Jenar memberinya salam, mengucapkan selamat tinggal, kemudian menghilang.

Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah

Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah ("Sekelumit Hikmah tentang Wali Ke Sepuluh") ditulis oleh KH. Abil Fadhol Senori, Tuban. Dalam versi ini, Syekh Siti Jenar memiliki nama asli Syekh Abdul Jalil atau Sunan Jepara, keturunan dari Syekh Maulana Ishak. Ia dihukum mati bukan karena ajarannya, melainkan lebih karena alasan politik. Sunan Jepara dimakamkan di Jepara, di samping makam Sultan Hadirin dan Ratu Kalinyamat.
Setelah Raden Abdul Jalil di eksekusi, para santrinya tidak ikut dieksekusi. Ageng Pengging alias Kebo Kenanga merupakan salah satu santri dari Raden Abdul Jalil, ia berhasil mendidik muridnya bernama Joko Tingkir dengan ajaran dari gurunya. Joko tingkir berhasil menyelesaikan konflik antara proyek besar Negara Islam di Bintoro dan Glagah Wangi (Jepara). Hal ini yang mengharumkan kembali nama Raden Abdul Jalil.[butuh rujukan]
Berikut ini merupakam silsilah Raden Abdul Jalil menurut Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah:
Syekh Jumadil Kubra, berketurunan:
1. Syekh Maulana Ishak
dengan putri Pasa (istri pertama)
a. Sayyid Abdul Qodir/ Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar) - murid Sunan Ampel
b. Siti Sarah >< Sunan Kalijaga
dengan Dewi Sekardadu
a. Raden Paku (Sunan Giri)
2. Syekh Ibrahim Asmarakandi
dengan Dewi Condro Wulan (saudari Dewi Mathaningrum atau Putri Campa, istri Prabu Brawijaya)
a. Raja Pendita >< Maduretno
b. Raja Rahmat (Sunan Ampel) >< Condrowati
1) Sayyidah Ibrahim (Sunan Bonang)
2) Sayyidah Qosim (Sunan Drajat)
3) Sayyidah Syarifah
4) Sayyidah Mutmainah
3) Sayyidah Hafshah
c. Sayiddah Zaenah
3. Siti Afsah

Di bawah ini merupakan silsilah Syekh Siti Jenar yang bersambung dengan Sayyid Alawi bin Muhammad Sohib Mirbath hingga Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi (Hadramaut, Yaman) dan seterusnya hingga Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW, berputeri
  • Sayidah Fatimah az-Zahra menikah dengan Ali bin Abi Thalib, berputera
  • Husain r.a, berputera
  • Ali Zainal Abidin, berputera
  • Muhammad al-Baqir, berputera
  • Imam Ja'far ash-Shadiq, berputera
  • Ali al-Uraidhi, berputera
  • Muhammad al-Naqib, berputera
  • Isa al-Rumi, berputera
  • Ahmad al-Muhajir, berputera
  • Ubaidillah, berputera
  • Alawi, berputera
  • Muhammad, berputera
  • Alawi, berputera
  • Ali Khali' Qosam, berputera
  • Muhammad Shahib Mirbath, berputera
  • Sayid Alwi, berputera
  • Sayid Abdul Malik, berputera
  • Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan), berputera
  • Sayid Abdul Kadir, berputera
  • Maulana Isa, berputera
  • Syekh Datuk Soleh, berputera
  • Syekh Siti Jenar

    Hubungan keluarga dengan Syekh Nurjati

    Maulana Isa, Kakek dari Syekh Siti Jenar, adalah seorang tokoh agama yang berpengaruh pada zamannya. Putranya adalah Syekh Datuk Ahmad dan Syekh Abdul Soleh (ayah dari Syekh Siti Jenar). Syekh Datuk Ahmad, kakak dari ayah Syekh Siti Jenar, memiliki putra Syekh Datuk Kahfi yang selanjutnya dikenal pula dengan nama Syekh Nurjati